Page 32 - Edisi November 2017
P. 32

32   KREATIF                                                                                                                                                                                               KREATIF      33




         Aku Mimpi Ayah                                                                                                          Tubuhnya terjerembab untuk keduakalinya.   Terlebih muka beringas warga kampung   Sepi merangkul rumah. Sudah beberapa


                                                                                                                                 Ibu semakin tak karuan. Ditamparnya
                                                                                                                                 aku keras, “Aku tak pernah mengajarimu   serta hujatan yang tak kunjung reda   hari Mulaki tak datang. Aku tak begitu
                                                                                                                                                                    membuatku kegalapan. Terlanjur cepat
                                                                                                                                                                                                      peduli sebab itu bukan urusanku. Suara
                                                                                                                                 seperti ini!”.                     Ibu berubah sesosok malaikat di mataku.   cakapan tak kudengar malam ini. Ibu hanya
                                                                                                                                                                    Dengan mata sembab ia meminta agar   sendiri, hingga kuyakini sebuah ketukan
                                                                                                                                 “Aku benci dia, Ibu! Ibu keterlaluan!”  masalah ini tak diselesaikan secara hukum   terdengar nyaring.
                 ku mencintai mimpi. Mimpi   Aku sebenarnya tak suka dengan laku   melarikan diri dari rumah. Namun, lagi-                                          dan tak perlu diperbesar-besarkan. Ia
                 adalah bintang yang bershalawat   Ibu seperti ini. Seakan tak pernah sadar,   lagi aku kalah. Tak kuasa hidup dalam   BRUKK!! Perut buncit lelaki selingkuhan   ingin menyelesaikan secara kekeluargaan,   Ketukan tengah malam yang membuatku
          Adi badar-badar langit. Itu dulu,   sebagian kakinya telah menyerusuk   pengasingan dengan segala keterbatasan.        Ibu kutendang lagi. Ia meringis, mundur   walau alasan itu membuat warga sedikit   bertanya, siapa di luar sana? Malam larut
          tidak kali ini. Ayah mengunjungiku dalam   dalam liang lahat. Ia merasa diri muda.   Aku terlalu tunduk pada Ibu.      beberapa langkah sambil memegang   mengernyit. Namun, kelincahan lidah Ibu   seperti ini jarang yang ingin bertamu.
          mimpi dan aku tidak senang dibuatnya.  Mengalahkan remaja-remaja desa yang tak                                         perutnya.                          menggubah cerita indah membuat warga   Suaranya semakin menderas keras.
                                            kalah genit dibanding polahnya itu. Aku   Ayah yang pulang tiba-tiba memukul                                            mafhum dan berlalu begitu saja.   Kutunggu beberapa saat berharap Ibu
          Kerap malam kejadian ini menimpa. Dan   muak. Pernah sekali ku hantam lelaki itu   Mulaki yang merangkul Ibu dengan mesra   Hujan semakin berdera-dera. Kerasnya                            terbangun untuk membuka pintu. Mungkin
          aku hanya mampu bersembunyi dengan   hingga ia terjerembab. Malah aneh kurasa   di dalam kamar. Selingkuh, kata yang terus   angin membuat jendela rumah berderit-  Di mana petang-petang telah tenggelam   saja Mulaki datang setelah berjanji dengan
          keringat pertanda ketakutan selepas   selepas itu. Ibu murka besar. Ditamparnya   diucap Ayah. Mulaki terjerembab, pelipisnya   derit tak beraturan.      di balik bukit, serta angin tak lagi berdepa-  Ibu.
          itu. Ibu tak tahu dan aku merasa tak   aku berulang kali hingga jejak telapak   luka tergores segi meja.                                                  depa. Di namaku telah tersemat pembunuh.
          perlu menceritakan ini padanya. Cukup   tangannya merekam merah dipipiku.                                              Mata Ayah memerah seolah ingin melahap   Sedangkan Ibu dengan leluasa bersama   Namun, ketukan itu semakin keras
          aku ditegur Ayah dalam mimpi sebab ia                                Suara Ibu melengking, kemarahan                   lelaki itu bulat-bulat. Amarah seakan   Mulaki dan mengganggapku seperti angin   membuatku tak sabar. Untuk apa lelaki
          membenciku. Benci karena kelemahan dan   Cukup dewasa Ibu mengetahui apa yang   bercampur ketakutan. Ia menghujam Ayah   menembus tengkorak kepalanya. Ibu   semilir.                       itu datang tengah malam begini? Kembali
          kebodohan diamku yang tak ingin berterus   salah, tapi ia tak peduli. Baginya Mulaki   dengan kata-kata tak megah. Seharusnya   berdiri di sudut ruangan. Barukali ini kulihat              terngiang perkataan Ibu sudah-sudah,
          terang. Terlebih tak berani mengkhianati   lelaki idam-idamnya sepanjang masa.   wanita itu meminta maaf, namun urung   wajahnya pias. Mungkin ketakutan bila   Lepas itu, Ayah menjadi momok   “Jika Mulaki datang lekas buka pintu.
          Ibu dan menempeleng lelaki itu.   Hingga fajar menyingsing, jendela kamar   diucapnya. Ia lantas membantu Mulaki       Mulaki tewas di tangan Ayah, terlebih Ayah   menakutkan dalam mimpiku. Saban malam   Persilahkan ia masuk, tak masalah jika larut
                                            dibuka tergesa. Mulaki lari dari arah sana.   untuk berdiri sigap. Aku berdiri di pojok   telah menggenggam golok besar. Namun,   mengunjungi dalam mimpi dengan wajah   malam”.
          Mulaki, lelaki kukenal dua bulan yang lalu.   Menyelusup dalam keremangan fajar   ruang dan mengambil kesimpulan kalau Ibu   Mulaki lebih layak disebut pendekar. Ayah   mengerikan. Aku ketakutan. Tidurku tak
          Dan terang-terangan Ibu mengaku itu   dan tenggelam dalam hutan bakau. Ibu   membela lelaki kumis itu. Hal yang sudah   lawan yang terlalu biasa dimatanya.  tenang. Berulang-ulang ia hadir. Dan   Aku tak ingin diguyur amarah atau
          selingkuhannya. Hanya kepadaku dan aku   tersenyum. Merindu segera hari esok.  ku lumrahi jauh sebelum Ayah tahu.                                         yang paling memuakkan aku tak mampu   tempeleng pedas dari tangannya yang tak
          diminta tak perlu mengadu kepada Ayah.                                                                                 Tanpa perlawanan lelaki penuh nafsu itu   menjelaskan duduk pekaranya kepada   pernah mengurusi rumah. Bergegas aku
          Mereka berdua kerap memadu kasih saat   Dalam lelah aroma garam laut, Ayah pulang   Ayah seperti sapi gila yang terus   menghunus Ayah hingga terkapar. Aku   Ayah. Bibirku kelu. Sukar untuk berujar.  memberanikan diri. Ketika ketukannya
          Ayah melaut. Lumrahlah hingga akhirnya   membawa ikan tak seberapa. Ibu merasa   menyeruduk. Membanting apa yang ada   meraung-raung seperti bocah ketakutan                                semakin keras, aku semakin tergesa.
          aku mendengar cakapan mereka hingga   lelah menghadapi lelaki tua itu. Ragam cara   hingga mengambil golok di balik guci.   melihat setan. Kugenggam golok yang   “Mengapa kau tak mengusir lelaki itu?!
          pagi menegak.                     dilakukannya. Berlakon gaya bak pemain   Hujan berdera-dera di luar sana. Deru       tertancap diperutnya. Ibu memekik hebat   Kamu takut…”               Tanpa perlu menyibak tirai, cepatku
                                            drama. Ia bersapa penuh kecut. Kusayangi   ombak nyaring tak putus-putus. Bunyi      mengundang tetangga berdatangan. Walau   “Usir lelaki itu dari rumah ini!!”  memutar kunci. Kagetku berubah
                                            Ayah dengan keadaan ini.           petir menggelegar selaksa seperti getaran         hujan suaranya menguasai malam.    “Jangan menjadi lelaki lemah, usir dia!!”  ketakutan. Lelaki yang ingin kuhindari, kini
                                                                               amarah.                                                                                                                hadir di depanku! Mata kuyu berjubah
                                            “Mengapa kamu tak mengusir lelaki itu?”                                              Ramai yang datang dan mata mereka   Dengan mata kuyu berjubah putih ia selalu   putih itu hanya diam tanpa ekspresi. Aku
                                                                               Ayah dan Mulaki menegang dengan                   menatap seperti tak yakin. Bertanya   hadir. Aku ketakutan. Menjerit dalam   mati langkah. Peganganku melemah. Aku
                                            Masih terngiang ucapan Ayah dalam mimpi   mata memerah. Silangan tangan mereka       sambil menduga mereka menyebut aku   mimpi hingga terbawa ke alam nyata.   gemetar.
                                            malam. Ingin rasanya kujawab sekeras   layaknya tontonan silat. Teriakan Ibu         sebagai pembunuh Ayah. Dan gilanya Ibu   Dan biasanya Ibu menghujatku, bahkan
                                            mungkin kalau aku pernah melakukan   seperti kesurupan. Kutengahi tikaian            membenarkan itu. Mulaki tanpa berdosa   memercik air ke muka hingga aku terjaga,   Perlahan dia berlalu tanpa melirikku. Masuk
                                            itu. Namun, bibir ini seperti susunan batu   dengan menarik tubuh Ayah ke pinggir.   turut menangisi tubuh Ayah walau kulihat   “Kamu selalu ribut! Apa yang kamu   ke kamar Ibu yang berjarak tak jauh dari
                                            bata yang semakin keras dipanggang   Ayah menepis, meronta-ronta dengan              ia tak mampu membunuh ketakutan.   mimpikan?!” tanyanya.             pintu masuk. Berselang menit kemudian,
              FERHAT MUCHTAR                api. Ingin kucerca dengan segala cerita   garang. Dihentak-hentaknya kaki hingga                                                                          kudengar Ibu berteriak tak karuan.
                                            tentang usahaku menyingkirkan lelaki itu;   berderit-derit lantai kayu. Seperti kesetrum   Warga menghujat berapi-api. Aku berusaha   ***
                ALUMNI FEB, UNSYIAH         mendampratnya, mencaci, menendang,   aku akhirnya. Emosi Ayah mengalir ke            untuk menjelaskan perkara ini, tapi terasa                           Perasaanku berubah. Dan bersegera ingin
               www.ferhatologi.com          mengusir, hingga usahaku yang terlemah   jiwaku. Kutendang Mulaki sekuat tenaga.     sukar. Kesulitan untuk memulai darimana.                             tidur. (cds)





          EDISI 217 . NOVEMBER 2017                                                                                                                                                                                EDISI 217 . NOVEMBER 2017
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37